Nuansa Bening

NUANSA BENING




NUANSA BENING

NINE

NUANSA BENING

NUANSA BENING

Karya Nine Cetakan Pertama, Oktober 2024 Penyunting: Nine Penata Aksara: Nine

NUANSA BENING

NUANSA BENING

D OHOON merapalkan kata-kata kasar layaknya sebuah doa tolak-roh-jahat ketika tatapannya “tak sengaja” menangkap Junghwan yang berlari-lari di lapangan. Setan itu harus diusir dari pikiran agar Dohoon tak tertimpa dosa. Dari jejeran kursi tepi lapangan, ia menyaksikan pertandingan futsal kelasnya melawan kelas Junghwan. Kelas 1A berhasil mencapai final. Sebuah rekor. Perdana bagi kelas satu untuk masuk babak terakhir. Melihat Junghwan yang menguasai bola, jantung Dohoon menggelegak. Namun, tak mungkin ia bangkit hanya untuk memukul cowok itu. Maka ia mengepalkan tangan, menyembunyikan keinginan untuk baku hantam. Musim panas telah berlalu, tetapi repihan panasnya menjejak pada kulit sebagai suatu sengatan. Duduk di selasar tak beratap, para pemain pengganti menelisik setiap sensasi gerak. Butiran-butiran tanah yang mengaur dari langkah-langkah kaki membuat udara makin sumpek. Mereka juga harus menahan diri untuk minum berlebihan, atau akibatnya, bisa beser di tengah permainan. Satusatunya penawar adalah angin yang sekali-dua menguas paha, lengan, dan kepala. Lima menit setelah peluit ditiup pertama kali, penonton masih bersorak semarai. Ada tiga kelompok dalam paduan suara itu: Pertama, penyorak kelas 1 yang didominasi oleh 1

NUANSA BENING

NINE

siswa-siswa kelewat pongah. Daripada menyemangati pemain, mereka mengolok-olok tim lawan dengan ujaran yang merendahkan. Sayangnya, kelas 3 tak peduli dengan pekan olahraga. Kebanyakan dari mereka lebih senang tidur atau maraton soal-soal persiapan ujian masuk perguruan tinggi di kelas. Kedua, kelompok siswi pencinta cowok ganteng. Yang jelas, mereka tak paham serba-serbi main bola. Pertandingan ini dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk melihat siswa-siswa tampan sedang bersimbah keringat. Ketiga, kaum yang memang cinta olahraga. Walau punya tim jagoan masing-masing, mereka enggan berteriak; lebih pilih memberikan reaksi manakala ada peristiwa mengejutkan. Dalam riah-riuh, malah kasak-kusuk di kursi penonton yang terjerat telinga Dohoon. Sebuah diskusi berlangsung di balik punggungnya: “Menurut kalian, siapa yang bakal menang?” Seorang siswi menceletuk. “Kelas 3B gak, sih? Kak Junghwan ‘tuh, jagonya main bola,” jawab cewek di sampingnya. Temannya mengangguk. “Eh, tapi, jangan salah, kelas 1 juga punya Dohoon. Dengar-dengar, dia kemarin berhasil mencetak sampai lima gol di semifinal.” “Hah, yang benar?” “Sumpah! Ya ... walaupun aku gak menontonnya 2

NINE

NUANSA BENING

langsung, sih.” Seorang siswa menyelonong ke percakapan, “Dia keren, sih, tapi kayaknya gak sejago Kak Junghwan.” Ia menunjuk Junghwan yang memelesat dari satu tepi ke satunya, “Lihat dia! Sudah tinggi, larinya juga cepat.” Dua siswi sebelumnya merespons dengan anggukan yang dibuntuti gumaman panjang. Perbandingan itu adalah salah satu hidangan dalam perjamuan wanti-wanti yang digelar ayah Dohoon saban liburan akhir semester. Tempo hari, setelah rapor dibagikan, ayahnya menggelar sebuah pengadilan: “Kamu bisa apa, sih, Dohoon?” Dohoon menunduk seraya memperhatikan rapor. Dalam dokumen itu, huruf B dan C mengisi sebagian besar sel dalam kolom nilai-dalam-huruf. “Papa kerja banting tulang biar kamu jadi dokter, atau jaksa. Tapi kamu balas itu semua dengan nilai-nilai seperti ini.” “Tapi, Pa—“ “Kamu mau berdalih apa lagi? Jangan pikir Papa gak tahu kamu suka bolos buat main bola. Kamu sebentar lagi masuk SMA lalu kuliah. Mau jadi apa kalau kamu terusterusan kayak gitu? “Maaf, Pa...” jawabnya lirih. Dohoon adalah terdakwa yang terduduk tak-berdaya menampik tuduhan. 3

NUANSA BENING

NINE

“Kata ‘maaf’ gak menyelesaikan masalah, Dohoon. Kamu anak Papa satu-satunya, satu-satunya harapan keluarga. Papa kecewa.” Bibir Dohoon bergetar, tetapi tak ada kata yang terucap. Air matanya melandas pada kertas sehingga tinta di dalamnya meleleh. “Contoh Junghwan. Dia selalu peringkat pertama di kelasnya. Sepuluh tahun berteman dengannya, tetapi gak sedikit pun kamu tertular kepintarannya.” “Sudah, Pa, sudah.” Ibunya menginterupsi. “Dohoon, istirahat dulu aja, ya? Besok lanjut belajarnya,” katanya dengan lembut. Pesan tersebut akal-akalan belaka untuk menunda pengadilan. Ketika ayah sudah berangkat kerja saat langit masih aram temaram, Ibu Dohoon membukanya kembali, menggelar sebuah perjamuan, di wilayah kekuasaannya. “Dohoon.” Dengan sumpit, ia memindahkan telur gulung ke mangkuk putranya. “Gimana kalau minta tutor ke Junghwan? Kamu ‘kan dekat dengannya.” Dohoon berhenti mengunyah. Niat awal untuk lahap menyarap runtuh, padahal perutnya bergiring-giring sejak semalam, padahal telur gulung dan sup rebusan kimci terhidang nikmat di meja. Kerongkongannya menolak nasi, tahu, dan kimci untuk lewat. Di sisi lain, perutnya bergejolak ingin memuntahkan 4

NINE

NUANSA BENING

segalanya. Dohoon mereguk air, memaksa tubuhnya untuk menelan segalanya sekaligus. “Dicoba dulu, ya? Mama yakin dia gak keberatan.” Dohoon membenci Junghwan karena ia membuatnya merasa tak pernah cukup: Junghwan selalu di depan, Dohoon tertinggal. Dalam permainan ini, Dohoon pasti kalah: Meski berpacu hingga kehabisan energi, ia tak mampu menimpali Junghwan, sebuah epitome yang ditentukan oleh orang tuanya. Andai keduanya tak pernah bertemu, tak pernah ditahbiskan sebagai kakak-adik, ia bisa hidup sederhana dan tanpa kebencian. ✴ DENGAN napas memburu, Gunwook mendatanginya, “Dohoon, gantikan aku. Cepat.” Dengan sigap, Dohoon bangkit lalu berlari-lari kecil di tempat sebagai pemanasan. Begitu kaki menginjak tanah, teman-teman sekelasnya meneriakkan namanya. Lapangan yang lesu pun hidup kembali. Semangatnya pun turut membara. Sambil mengawasi pergerakan bola, ia memosisikan diri ke wilayah yang belum dijaga siapa pun. Dari sudut lapangan, Junghwan melambai-lambai ke kursi penonton, mencuri waktu kosong saat bola keluar 5

NUANSA BENING

NINE

garis batas. Para siswi bersorak kegirangan. Mereka meneriakkan nama cowok itu berkali-kali, hingga pita suara hampir putus sekalipun. Untuk sejenak, terdapat disonansi dalam paduan-sorak. Dukungan untuk Kim Dohoon perlahan padam, digantikan oleh Shin Junghwan. Suara-suara itu memutari kepala Dohoon, bertanya kepadanya, tentang hubungannya dengan Junghwan. Hari itu, seorang cewek tak dikenal berani mengganggu jam tidur siangnya. Ia menyasar tempat duduk Dohoon dan menuilnya hingga terbangun. “Kamu Dohoon, ‘kan?” Dohoon mengangguk sembari mengucek-ngucek. Cewek itu berseragam, dengan jaket kardigan berwarna mencolok. “Siapa ya?” “Parah banget gak tahu, ih,” cewek itu menonjoknya lembut. “Aku Minju, dari kelas 2C. Salam kenal, ya.” Ia menyodorkan tangan. “Salam kenal juga.” Keduanya bersalaman. Nama itu familier. Jika tidak salah, seorang pemengaruh bernama Park Minju memang satu sekolah dengannya. Rambut merah dan riasan gemerlap mengonfirmasi ingatan tersebut. “Ada apa, ya?” “Dengar-dengar, kamu dekat sama Kak Junghwan. Aku ada urusan penting sama dia. Boleh minta nomornya?” “Ah, anu,” Dohoon pungak-pinguk. “Aku gak punya ...” 6

NINE

NUANSA BENING

“Loh? Bukannya kalian bertetangga?” “Kalau soal itu ...” Air mukanya berubah pucat. “Ayo, dong.” Minju menggoyang-goyangkan tubuh Dohoon. Ia serius dengan permintaannya, “Kalian sedekat itu, tapi masa belum pernah bertukar nomor?” “Tapi, Kak. Kami pun gak sedekat itu, kok. Serius.” “Bohong. Kalian sering pulang bareng juga, ‘kan?” “Aku benar-benar gak punya, Kak.” Tak terhitung berapa kali Minju memohon, pertahanan Dohoon tetap kokoh. Karena Dohoon tak bisa ditembus, Minju menyerah, “Dasar pelit!” Ia pulang sambil mengentak-entak. Murid yang berlalu-lalang menontonnya dengan roman bingung. Dohoon membenci Junghwan karena ia membuatnya harus berbohong, tentang hubungan mereka, tanpa alasan yang jelas. Akibat cekcok hebat dengan ayahnya, Dohoon mengungsi di kamar Junghwan. Tempat itu bagaikan rumah kedua, lebih-lebih saat yang pertama tak dapat ditinggali. Di ruangan itu, kenangan bersama berserakan di lantai: saat bermain gim; menonton film; atau kala Dohoon kabur dari rumah saat ia kelas 5 SD. Orang tuanya sampai berlutut kepada Junghwan untuk memberi tahu keberadaan anaknya, tetapi Junghwan berdalih tak bertemu dengannya seharian, padahal Dohoon 7

NUANSA BENING



Flipbook Gallery

Magazines Gallery

Catalogs Gallery

Reports Gallery

Flyers Gallery

Portfolios Gallery

Art Gallery

Home


Fleepit Digital © 2021