Benua Hitam






Kisah-kisah dari Benua Hitam

Judul asli: Stories by English Authors: Africa Penulis: Arthur Conan Doyle, J. Landers, Williams Charles Scully Alih bahasa: Safira Noor Raodah, M. Zainal Muttaqien, Tabita Virginia Editor: Harris Hermansyah Setiajid Kulit muka: ChatGPT Perwajahan isi: Harris Hermansyah Setiajid Manajer Proyek: Angelina Veregerin Cetakan pertama, Juni 2025 vi + 72 hal, 15 x 21 cm ISBN 978-623-99711-6-8 Penerbit Jogja Literary Translation Club Griya Purwa Asri B-360, Purwomartani, Kalasan, Sleman 55571 Surel: jltc.idn@gmail.com www.jltc.live ii

Kisah-kisah dari Benua Hitam

Isi

Halaman Judul ...................................................................................... i Halaman Spesifikasi ............................................................................ii Isi ...........................................................................................................iii Catatan Editor .....................................................................................iv Misteri di Lembah Sasassa Safira Noor Raodah .................................1 Tanjung Raja Bhemba M. Zainal Muttaqien .................................... 18 Ghamba Tabita Virginia .................................................................... 49 iii

Isi

Catatan Editor

Cerita adalah jembatan paling awal yang membentangkan imajinasi manusia lintas waktu dan tempat. Di antara hamparan benua yang kaya akan sejarah, mitos, dan konflik kolonial, Afrika telah menjadi lanskap fiktif yang membentuk persepsi dunia luar—terutama melalui mata penulis-penulis Eropa abad ke-19 dan awal abad ke-20. Buku ini, Kisah-kisah dari Benua Hitam, menyajikan beberapa cerita pendek karya pengarang asal Inggris yang berlatar Afrika, mulai dari Arthur Conan Doyle hingga J. Landers dan William Charles Scully. Meskipun ditulis oleh tangan asing, cerita-cerita ini memancarkan gema ketegangan, misteri, hingga refleksi moral yang melintasi batas budaya dan geografi. Pembaca masa kini mungkin mengenal Sir Arthur Conan Doyle sebagai pencipta Sherlock Holmes. Namun, jauh sebelum sang detektif ikonik itu muncul dalam A Study in Scarlet, Doyle telah menulis kisah petualangan yang berakar pada atmosfer kolonial dan ketegangan etnis yang menyelimuti Afrika Selatan. Cerita "Misteri di Lembah Sasassa" yang membuka buku ini adalah contohnya: sebuah perpaduan antara unsur detektif, mitos lokal, dan perburuan kekayaan yang dibungkus dalam narasi yang sangat khas akhir abad ke-19. Kisah ini bukan hanya tentang hantu dan berlian, tetapi juga tentang ambisi, nasib, dan kolonialisme terselubung yang mengendap dalam cara tokoh-tokohnya memandang tanah yang mereka datangi. Selanjutnya, pembaca akan diajak ke "Tanjung Raja Bhemba" karya J. Landers—sebuah cerita yang mempertemukan kembali pelaut tua dan agen perusahaan dalam medan sosial yang sarat dengan luka kolonial, konflik batin, dan dendam masa lalu. Cerita ini mencerminkan kegetiran manusia yang tak hanya dibentuk oleh alam liar, tetapi juga oleh rasa kehilangan, pengkhianatan, dan kekerasan struktural terhadap penduduk asli. iv

Catatan Editor

Diksi yang digunakan menggambarkan Afrika bukan sebagai tanah

misteri belaka, melainkan medan moral yang rumit, di mana para tokoh harus menakar kembali nilai, rasa bersalah, dan keadilan. Cerita ketiga, “Bhemba” karya William Charles Scully, menghadirkan nuansa berbeda. Sebagai seorang penulis kelahiran Afrika Selatan, Scully menulis dengan sudut pandang yang lebih dekat pada tanah tempat kisah-kisah ini berakar. Dalam ceritanya, kita bisa menangkap semacam upaya untuk memanusiakan tokohtokoh lokal—suatu hal yang jarang ditemui dalam narasi kolonial murni. Meski tidak lepas dari bias zamannya, tulisan Scully memberikan nuansa tambahan yang memperkaya pembacaan kita terhadap konteks Afrika kolonial: sebagai tanah konflik, tetapi juga sebagai ruang spiritual dan eksistensial. Ketiga kisah ini menyuguhkan benturan: antara fiksi dan sejarah, antara imajinasi Eropa dan realitas Afrika, antara niat menyampaikan hiburan dan ketegangan naratif yang sarat dengan jejak ideologis. Dalam menerjemahkan cerita-cerita ini ke dalam bahasa Indonesia, pekerjaan penerjemah bukan sekadar mengalihkan bahasa, tetapi menjembatani cara pandang. Di satu sisi, kita tidak bisa memisahkan kisah-kisah ini dari latar belakang kolonial yang menjadi bayangannya. Di sisi lain, kita juga bisa menangkap nilai-nilai universal yang dibawa: tentang rasa penasaran, kehilangan, balas dendam, dan pencarian makna. Penerbitan buku ini oleh Jogja Literary Translation Club (JLTC) bertujuan untuk membuka kembali percakapan tentang bagaimana literatur membentuk persepsi lintas benua. Meskipun karya-karya ini ditulis dalam semangat era yang sangat berbeda dengan hari ini, pembacaan ulang terhadap teks-teks semacam ini tetap penting. Bukan untuk menelan bulat-bulat perspektif lama, tetapi untuk mengenal jejak sejarah, membedah bias naratif, dan pada akhirnya memahami bagaimana cerita—bahkan yang penuh luka—dapat menjadi ruang refleksi lintas generasi. v

Diksi yang digunakan menggambarkan Afrika bukan sebagai tanah

Terjemahan dalam buku ini juga menawarkan pembaca Indonesia

kesempatan untuk menilik genre adventure fiction era kolonial melalui lensa lokal. Tanpa menghapus jejak kolonialisme yang menjadi latarnya, alih bahasa ini tetap mempertahankan gaya penceritaan aslinya sambil memberi akses bagi pembaca baru untuk mengkaji nilai, konflik, dan kekayaan naratif yang dikandungnya. Kami mengajak pembaca untuk tidak hanya menikmati kisah-kisah ini sebagai petualangan yang menegangkan, tetapi juga sebagai bahan renungan: tentang siapa yang bercerita, siapa yang diceritakan, dan bagaimana kita, hari ini, membaca ulang dunia yang pernah dilihat dari kapal para kolonialis dan pena para penulisnya. Selamat membaca! Harris Hermansyah Setiajid vi

Terjemahan dalam buku ini juga menawarkan pembaca Indonesia





Flipbook Gallery

Magazines Gallery

Catalogs Gallery

Reports Gallery

Flyers Gallery

Portfolios Gallery

Art Gallery

Home


Fleepit Digital © 2021